Powered By Blogger

Zona Laut Biru

satu-satunya yang aku suka adalah : MENULIS, soal yang lain masih boleh ditawar, tapi MENULIS adalah satu-satunya duniaku yang tak pernah berdusta

Jumat, 26 Oktober 2012

Kecupan yang Menyelamatkan

sejak aku duduk di bangku sekolah menengah, aku sangat sering mendengar kawan-kawan maupun guruku melayangkan pujian untuk tulisanku. oh ya, maksudku di sini, tulisan yang benar-benar tulisan, bukan hasil karya menulis. tulisan tanganku lebih tepatnya.

 

aku tak ingat lagi berapa banyak orang yang selalu mengatakan "tulisanmu bagus sekali" atau "tulisanmu rapi sekali" atau juga "tulisanmu kayak ketikan komputer". apalagi sejak aku kuliah dan lebih-lebih saat masa kepaniteraan klinik ini. aku sudah berkali-kali mendengar dokter konsulenku memuji, "tulisan kamu bagus dan rapi." atau sering juga sesama koas yang kebetulan meminjam catatanku akan bilang "rapi banget catatannya.."

 

mendengar pujian seperti itu aku biasanya hanya tersenyum. aku teringat sebuah pengalaman semasa aku kecil. pengalaman yang sudah terjadi sekitar delepan belas tahun silam. satu-satunya pengalaman yang tersisa di sudut ingatanku. pengalaman yang mempunyai peran besar dalam "tulisanku". 

 

tak ingat tahun berapa, TK B Tunas Jakasampurna..........

 

Ibu Lala selalu bilang tulisanku ini kurang rapi. dibandingkan dengan tulisan teman-teman sekelasku, tulisanku bukan main jeleknya. besar-besar menghabisi ruang di satu baris buku tulis. kayak gajah. tulisan raksasa. nggak enak dibaca. tapi ibu guruku tak pernah bilang tulisanku jelek. Ibu Lala cuma selalu bilang, "belajar menulis lebih rapi. tulisannya dibuat lebih kecil-kecil supaya lebih terlihat rapi." begitu Bu Lala, guru di kelas TK B ku berkata. setiap hari. 

 

berhari-hari selalu begitu. tulisan besar-besar yang tidak enak dibaca. tapi Bu Lala tak pernah marah. ia hanya selalu mengingatkan supaya aku mengecilkan ukuran tulisanku.

 

suatu hari, aku tak begitu ingat mengapa hal itu terjadi, tapi aku mengecilkan ukuran tulisanku menjadi hanya sepertiganya saja di buku tulisku. tulisanku yang seperti raksasa mengamuk itu tak nampak di halaman bukuku. aku menulis dengan huruf yang kecil-kecil.

 

seperti biasa, Bu Lala berkeliling untuk mengecek tugas menulis kami masing-masing. tiba di tempatku, Bu Lala nampak terperanjat. ia takjub melihat tulisan model baruku. huruf-huruf yang ukurannya tak seperti biasanya.

 

"Ini morin tulis sendiri?"

 

aku mengangguk.

 

aku lihat Ibu Lala tersenyum. ia nampak puas dengan hasil kerjaku. ia membaca tulisanku lebih lama dari biasanya, lalu ia menunduk di sebelahku. meja belajar kami waktu masih taman kanak-kanak sangat rendah, jadi Ibu Lala harus membungkuk bahkan setengah berjongkok untuk bisa lebih dekat denganku. 

 

aku tak pernah melupakan kata-katanya hari itu, "tulisan morin bagus sekali. tulisannya rapi. ibu senang sekali. karena morin berhasil menulis dengan rapi, mari sini, ibu cium..." dan ibu lala mengecup kedua pipiku yang masih mungil. tak terkira perasaanku saat itu. ada rasa bahagia yang membuncah begitu hebat di dadaku. aku rasanya ingin teriak bilang ke seluruh dunia kalau bu Lala baru saja menciumku karena tulisanku bagus.

 

kecupan itu terasa sangat dalam bagiku. tak sekedar mengecup pipiku namun sampai ke dasar hatiku. buktinya, aku tak pernah melupakan penggalan kenangan itu. sumpah, aku tak ingat kejadian-kejadian lain dalam masa umurku empat tahun. bahkan kejadian-kejadian di saat usiaku enam tahun atau tujuh tahun juga tak banyak aku ingat. tapi penggalan kejadian itu masih ada di lobus memoriku. aku masih ingat saat pipiku dikecup dengan lembut. rasa bangga dan terharu masih memenuhi hatiku hingga detik ini. 

 

sejak hari itu aku berjanji dalam hatiku, aku akan menulis dengan rapi dan lebih rapi lagi. aku akan selalu membuat tulisanku bagus dan enak dibaca. dan senang rasanya bahwa janji itu masih aku tepati hingga saat ini. setiap mendengar pujian atas tulisanku dialamatkan kepadaku, aku selalu teringat Ibu Lala. seorang guru yang tak pernah memarahiku dan malah menghadiahkan sebuah kecupan saat aku berhasil membuat tulisanku rapi.


------------


aku berjanji pada diriku sendiri, kelak kalau aku punya anak-anak nanti, aku akan selalu menghadiahkan pujian dan semangat kepada mereka saat mereka berhasil melakukan sesuatu yang baik. akan kuhadiahkan kecupan dan pelukan setiap kali mereka dengan bangga menunjukkan hasil terbaik mereka. bukan hanya soal prestasi di sekolah, tapi apa saja. aku akan mengecup mereka saat mereka bisa memasak mie instan sendiri, atau memberikan pelukan ketika mereka berani tampil di muka umum untuk membaca puisi atau menyanyi atau main drama...aku akan ada di sana, di manapun mereka sedang menunjukkan kebolehan mereka. aku akan menjadi panglima yang mengawal bukan presiden atas diri mereka yang menggunakan otoritasku dan mengerdilkan mimpi-mimpi mereka...


sebab sebuah kecupan, sebuah pelukan adalah "kisah penyelamatan" yang sederhana namun sangat mengena. banyak cerita seseorang membatalkan niatnya bunuh diri hanya karena datang "malaikat" yang tanpa tahu kesedihan apa yang tengah menyelimutinya, tiba-tiba memeluknya dengan tulus.


dan karena aku berdiri dengan profesiku yang bukan menjadi seorang guru, aku tak dapat memeluk murid-muridku dengan penuh cinta dan semangat. sebagai gantinya, aku memeluk pasien-pasienku. aku ingin selalu ada di dekat mereka di saat-saat tertentu, di mana aku tak ingin dianggap sebagai seorang koasisten, melaikan lebih kepada seorang sahabat. aku menyediakan waktu untuk duduk di samping mereka, mendengarkan lalu memeluk mereka dengan sepenuh hatiku. tapi soal pelukan ini, biarlah aku cerita di lain kesempatan.


"terima kasih, Ibu Lala. dimanapun Ibu berada saat ini, tanpa kecupan yang menyelamatkan itu, saya takkan menjadi manusia seperti sekarang ini. saya pernah merasakan betapa bahagianya mendapatkan sebuah kecupan untuk hal-hal yang pasti orang lain menganggapnya sangat sepele, dan dari hal sekecil itu saya belajar untuk juga memberikan kecupan dan pelukan kepada mereka yang paling membutuhkannya.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar